caping gunung dan refleksi masyarakat desa

saya orang desa yg lahir dan besar di desa. tumbuh besar ditengah-tengah masyarakat desa yg homogen, yg mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. dulu, dirumah saya sering dipakai untuk latihan karawitan (sebuah musik gamelan tradisional jawa). selayaknya musik daerah, yg dibawakan juga tembang-tembang daerah. tembang-tembang daerah umumnya menceritakan keseharian masyarakat desa. seperti bertani, dari mulai menanam sampai memanen hasilnya, semua dilakukan dengan guyup rukun gotong-royong. mastarakat desa hidup begitu sederhana dalam kesederhanaan. sebagai bagian dari masyarakat desa, meskipun saya kelahiran 90-an, tapi puji Tuhan saya masih sering mendengarkan tembang-tembang tersebut. dan karena keseringan saya jadi hafal, atau paling tidak tahu. banyak tembang-tembang yg sering mampir ditelinga saya. merasuk hingga ke sanubari. teringat sampai kini. salah satu diantaranya adalah tembang caping gunung. sebuah tembang yang
saya baru tahu kalo itu dikompos oleh mbah gesang almarhum.


dulu, sewaktu mendengarkan lagu caping gunung, saya merasa biasa saja. lambat laun, dikala tumbuh dari kanak-kanak menjadi pemuda harapan desa, saya mulai merasakan bahwa tembang tersebut tidak hanya sebuah tembang biasa. didalamnya membawa makna yang sederhana tapi begitu mengakar, terutama bagi  manusia desa seperti saya. dikala jaman yang cepat sekali berubah, dari jaman "kabur" informasi menuju jaman "melek" informasi, dunia yang kata Marshall McLuhan diibaratkan seperti sebuah desa (Global Village) yang didalamnya informasi sangat terbuka dan dengan mudah sekali diakses oleh semua orang, tak terkecuali oleh masyarakat desa seperti saya. dari situlah transformasi dimulai. hegemoni barat merambah ke timur dan dengan mudahnya merasuki hingga ke desa.
tembang-tembang daerah seperti caping gunung mulai jarang saya dengar. anak muda desa merasa lebih "gaul" mendengarkan musik barat dan merasa aneh jika harus menggauli lagu daerah. padahal tetap mendengarkan lagu barat dengan tidak melupakan lagu daerah tetap tidak akan merubah kegaulanmu. heuheuheu

kembali ke tembang caping gunung. ditengah badai perubahan jaman seperti sekarang, apalagi dikala hidup mu merantau jauh dari kampung halaman. percayalah, mendengarkan lagu seperti caping gunung akan membuatmu merasa tentrem tur adem ayem. selain akan membuatmu merindukan hiruk pikuk kampung halaman, kau juga akan menyadari bahwa ternyata disetiap lirik-liriknya yang tampak sederhana itu ternayata penuh metafor. jika kau mendengarkannya dikala sendirian di kos, berteman secangkir kopi atau teh tawar, bersanding segelintir rokok eceran, akan membuat bulu kudukmu merinding. semakin lama matamu yang akan merasa berat, hingga kau tak sadar air matamu mulai menetes, sedikit demi sedikit lama-lama membasahi pipimu. semakin kau renungi makna filosofis yg tersirat dari tembang tersebut, semakin kau akan temui sebuah kenyataan bahwa jaman terlanjur berubah. dan, kau temui dirimu terasing didalamnya. tidak ada yg bisa kau lakukan terhadapnya. kau tidak bisa mencegahnya. roda jaman terlanjur berjalan. namun kau masih bisa memilih, mengikuti arusnya, atau membuat arus sendiri.

berikut adalah lirik tembang caping gunung beserta artinya:
caping gunung, dikarang oleh Gesang Almarhum

Dhek jaman berjuang
Njuk kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ana ngendi


Jarene wis menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali


Ning gunung
Tak jadongi sega jagung
Yen mendung
Tak silihi caping gunung


Sukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Gone padha lara lapa


artinya:

Ketika masa perjuangan
Ku teringat putraku
Dulu aku rawat
Namun sekarang entah di mana

Katanya sudah merdeka
Terpenuhi apa yang diinginkan
Dulu dia berjanji
Namun sekarang apakah alpa

Di gunung
Kubekali nasi jagung
Kalau mendung
Kupinjami caping gunung

Syukurlah jika dia bisa melihat
Kini gunung desa makin ramai
Hingga takkan hilang
Kenangan dulu ketika susah



Fyi, konon tembang tersebut oleh pengarangnya, Gesang almarhum, merupakan sebuah kritikan sekaligus kegelisahaan masyarakat desa terhadap ketidakadilan penguasa, yang melupakan masyarakat desa. Pada zaman perjuangan kemerdekaan, masyarakat desa sangat mendukung dan membantu para pejuang yang bergerilya melawan penjajah. dengan segala yang orang desa punya, diserahkan semua demi cita-cita luhur Indonesia merdeka. Namun, setelah merdeka, kehidupan orang desa tetap sengsara, tetap miskin, bahkan termarginalkan. lalu, janji tinggal janji (dalam syair: biyen nate janji, ning saiki opo lali).
barangkali tembang caping gunung masih relevan pada masa kini, dengan kondisi masyarakat desa masih sedemikian. masyarakat yang masih menjadi obyek kekuasaan. kehidupan masyarakat desa masih banyak yg miskin, pengangguran didesa semakin tinggi, orang desa berbondong-bondong mencari penghidupan di kota-kota besar karena pembangunan belum sepenuhnya menyentuh desa-desa. dan ketika sebagian pembangunan mulai merambah desa, yg terjadi justru bukan pembangunan yang saling menguntungkan, tapi justru sumber daya desa  yang dieksploitasi demi kepentingan pemilik modal. dari hasil bumi, tanah sampai masyarakatnya dikeruk oleh pemilik modal. masyarakatnya diiming-imingi oleh segelintir uang. tanahnya dibeli dengan harga tinggi (kadang ada yang memakai jalan paksa), saat itulah masyarakat dibodohi,diusir halus dari tanahnya sendiri. kehilangan mata pencaharian. mereka (masyarakat desa) yg bertahan beralih mata pencaharian menjadi "budak" dari pemilik modal. berubahnya mata pencaharian masyarakat desa tentu berakibat pada kehidupan sosial masyarakat desa.

lantas, jika sudah berubah sedemikian itu, akankah tembang-tembang yang biasanya menceritakan keseharian masyarakat desa tetap bertahan. saya kira tembang-tembangnya juga akan mengikuti jaman. mengikuti keseharaian masyarakatnya, yang dulu awalnya pergi ke sawah menjadi pergi ke pabrik. yang awalnya guyup rukun berubah menjadi ahsudahlah.

mari sejenak melunakkan pikiran dengan mendengarkan tembang caping gunung.
berikut tembang caping gunung dibawakan dengan apik oleh Waljinah:

 


NB: gambar diambil dari smpn2ngimbang.blogspot.com / video diambil dari youtube.com
iriknya sederhana namun penuh metafor.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ahmed-tsar-blenzinky/langgam-caping-gunung_54ff2af1a33311524550fafe
iriknya sederhana namun penuh metafor.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ahmed-tsar-blenzinky/langgam-caping-gunung_54ff2af1a33311524550fafe
iriknya sederhana namun penuh metafor.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ahmed-tsar-blenzinky/langgam-caping-gunung_54ff2af1a33311524550fafe

0 komentar: