Di Persimpangan Desember
Desember adalah bulan
dimana sebagian orang sibuk merencanakan akhir tahun sekaligus menyambut
datangnya tahun baru. beragam cara menyambut tahun baru, dari mulai naik
gunung, pergi ke pantai, ke tempat wisata, atau menikmati pesta kembang api di
pusat kota. hiruk pikuk keramaian kota dengan kemegahannya di akhir tahun
selalu menyuguhkan yang terbaik bagi para penikmatnya. kota-kota sibuk
bersolek, merias diri dengan berbagai ornament agar terlihat lebih cantik dan
gemulai dari tahun sebelumnya. Kota-kota itu saling berlomba dengan kota
lainnya. dan Surabaya adalah salah satu pesertanya, kota metropolitan yang
megah dan tersibuk nomor dua di Indonesia setelah Jakarta itu menunjukan
taringnya.
Sayangnya, keindahan
kota tak selalu berbanding lurus dengan warga masyarakatnya. semua keindahan itu
ternyata tak selalu bisa dinikmati oleh semua kalangan, terlebih bagi warga
kotanya sendiri. disaat sebagian yang lain sibuk merencanakan agenda akhir
tahun dan persiapan menyambut tahun baru dengan suka cita, sebagian lain sisanya sedang berjuang
mempertahankan nasibnya sebagai bagian dari warga kota, menahan perihnya sengketa
penggusuran tempat tinggal mereka.
Demi sebuah tatanan
kota yang lebih indah, terpaksa tempat mereka makan, tidur, bermain, dan hidup
itu harus segera dikosongkan alias digusur, atau bahasa yang lebih halusnya
adalah direlokasi. mereka tidak punya kuasa untuk mengubah keputusan pemerintah
kota. yang bisa mereka lakukan hanyalah meratapi sisa-sisa puing bangunan yang
berserakan. mereka sempat melawan, meski akhirnya bahasa kekerasanlah yang
ditunjukan pemerintah melalui oleh aparatnya. kini, tanah dan air itu telah
menjadi milik pemerintah kota. mereka tak lagi punya hak untuk itu. pemerintah
kota telah menyiapkan sebuah rumah susun yang konon jauh lebih layak dari
perkampungan kumuh sebelumnya.
Sebenarnya tidak ada
yang namanya kampung kumuh jika negara benar-benar hadir ditengah-tengah
masyarakat itu. namun yang terjadi adalah negara semakin giat membangun yang
hasilnya bukanlah untuk kalangan seperti mereka. kalangan yang tidak bisa
menjangkau pembangunan yang bernilai tinggi itu. akibatnya ketimpangan sosial
akan semakin nyata adanya. ciutnya lapangan pekerjaan yang diperuntukkan bagi
mereka menciptakan kemiskinan struktural yang membuat mereka terpaksa tinggal
dalam sebuah kampung kumuh itu. akhirnya mereka pun mengalah demi sebuah pembangunan
yang konon adil dan merata itu.
Ditengah-tengah
pergolakan antara pemerintah kota beserta aparatnya melawan warga terdampak
penggusuran, ada sekelompok mahasiswa dan kuasa hukum yang mendampingi para
warga itu. ditengah suasana yang panas, aku melihat seorang perempuan dari
kalangan mahasiswa yang berhadapan langsung dengan aparat yang sedang
menjalankan tugasnya. perempuan yang ku tahu namanya itu mencoba meminta prosedural
seperti surat perintah dan surat penetapan pengadilan, namun aparat itu tidak
menanggapinya. perempuan itu terus mengejarnya dengan pertanyaan yang sama.
aparat itu akhirnya dongkol dan mencoba mendorong mahasiswi itu. ia bahkan
hampir memukul perempual itu jika saja tidak datang rekan aparat lain yang
melerainya.
Dari jarak yang lumayan
jauh namun masih cukup jelas untuk menyaksikannya, aku merekam semua peristiwa
itu dengan handycamku. hampir aku ingin berlari ke arah mereka saat terjadi
peristiwa dorongan itu. namun posisiku tidak memungkinkan untuk mendekat,
alih-alih melerainya. untung saja ada beberapa aparat yang cepat datang dan
memisah.
Akhrnya malam pun
datang. para aparat beserta jajarannya itu sudah pergi, karena pekerjaan sudah
selesai. namun sekumpulan aliansi mahasiswa itu masih berada disana bersama para
warga yang memunguti sisa-sisa bangunan yang telah luluh lantah akibat
penggusuran. diantara kerumunan itu, walau gelap, masih ada sedikit cahaya yang
memungkinkanku untuk bisa melihat sesosok perempuan itu, rambutnya yang
dibiarkan terurai, dengan setelan celana jins biru dengan kemeja flannel yang
pergelangan tangannya dilingkis rapi itu membuatnya tampak ayu meski tanpa
polesan bedak atau krim pemutih. rambutnya yang sedikit pirang dan bergelombang
itu cocok sekali dengan poninya yang manis. dan yang paling kusuka dari dirinya
adalah sorot matanya yang teduh dan bibirnya sensualnya yang selalu tersenyum
dalam keadaan segenting apapun.
Tiba-tiba kulihat ia
membuka ponselnya dan mengangkat panggilan yang sepertinya cukup pribadi,
karena ia harus memisahkan diri dari rombongannya. ia berjalan menjauh dan
mencari tempat yang sepi yang memungkinkan tidak ada suara yang dapat
mengganggu percakapannya melalui telefon genggam. usai mengakhiri panggilan itu,
wajahnya mendadak lesu, tapi tetap tidak mengurangi paras ayunya. perlahan,
kuberanikan diri untuk melangkah mendekatinya yang tidak jauh dari tempat
persembunyianku.
“hey kamu” sapaku saat
sudah dekat.
ia kemudian menoleh ke
arahku sambil mengarahkan telunjuknya pada dirinya sendiri dan bertanya balik. “aku?”
“memangnya ada siapa
lagi disini?” kataku semakin mendekat.
“ambil ini! kamu dan
teman-temanmu pasti akan memerlukannya. disana ada beberapa rekaman video yang
menarik” sambil tersenyum aku menyerahkan handycam itu kepadanya. ia
menerimanya tanpa banyak bicara. dan sebelum ia sempat menanyakan lebih jauh,
baik perihal video yang ada didalamnya atau tentang diriku, aku segera pergi.
“jaga dirimu baik-baik!
kesehatanmu juga perlu untuk diperhatikan!” Sebelum benar-benar pergi, entah kenapa
kalimat itu tiba-tiba muncul begitu saja dari mulutku. aku kemudian bergegas
pergi menjauh.
“hey” panggilnya saat
aku sudah cukup jauh.
“hey, siapapun kamu, terima kasih!” ucapnya
setengah berteriak.
aku tetap berjalan
pergi tanpa sempat memalingkan wajah untuk menoleh kebelakang kearah panggilan
itu. aku tersenyum, sambil mengingat-ingat wajahnya, matanya, bibirnya, poni
rambunya. aku akhirnya bisa benar-benar melihatnya secara langsung.
Aku berjalan menuju
halte terdekat, lalu naik bus kota yang membawaku ke apartemen tempat ku tinggal
di kota ini. akhir-akhir ini aku selalu suka naik bus kota, berbaur dengan
mahasiswa dan orang-orang yang baru pulang kerja. kota ini sudah terlalu sesak
dengan banyaknya jumlah pendatang yang mengadu nasib atau mahasiswa yang
mencari ilmu. akibatnya volume kendaraan setiap tahun selalu bertambah
sedangkan lebar jalan tetap sama dari tahun ke tahun. kemacetan masih menjadi
pemandangan yang biasa, meski pemerintah kota sedang gencar-gencarnya menekan
angka kemacetan dengan menambah jumlah bus kota.
“Pak Anjas” sapa
seorang lelaki disebelahku saat aku baru duduk dikursi bus kota yang lumayan
empuk itu.
“Dari mana pak? tumben
kok naik bus kota pak?” ia memburuku dengan serangkaian pertanyaan. rupanya ia
adalah Mahmud, salah satu bawahanku di Kantor, tapi aku lebih suka menyebutnya
rekan kerja.
“Eh Mahmud, iya nih
saya lagi pengen aja naik bus” jawabku singkat. “kamu kok baru pulang Mud?” tanyaku
mencoba mengalihkan perhatian.
“iya pak, tadi ada
beberapa project dari Bu Sasa yang harus diselesaikan hari ini juga” jawabnya.
“hmmm” aku mengangguk
sambil pikiranku melayang mengingat wajah Nina, mahasiswi yang mengawal
penggusuran tadi.
“oh iya pak, maaf,
bagaimana kelanjutan dari project Rusun pak?
bagaimana audiensi dengan warga? lancar pak?” lagi-lagi Mahmud melontarkan
serangkaian pertanyaan yang kali ini bahkan seperti bisa membaca pikiranku.
“kenapa kamu nanyain
itu?” aku menatap mata Mahmud dalam-dalam.
“maaf pak. saya
mendengar kabar di kantor, katanya project Rusun sempat mengalami gangguan
karena warganya tidak mau direlokasi. apa itu bener pak?” Kepala Mahmud agak
merunduk.
“kamu ini suka gosip
aja kalo dikantir ya” “iya, sempet ada permasalahan kecil kok, tapi sudah
beres” aku sengaja tidak menceritakannya dengan detail, karena aku takut Mahmud
salah tangkap.
“oh syukurlah kalau
begitu pak” “eh yasudah pak, saya turun duluan pak” Mahmud menjabat tanganku
lalu turun dari Bus Kota.
Entah kenapa pertanyaan
Mahmud begitu menohok. Menusuk jauh menyentuh nuraniku. sebuah pertanyaan yang
juga kugelisahkan belakangan ini. hingga membuatku mempertanyakan kembali pekerjaanku.
Aku sudah cukup lama bekerja pada sebuah pengembang yang cukup tenar di kota
ini, bahkan skala nasional. posisiku juga cukup strategis, yakni Kepala Humas
atau Public Relation Officer. aku sudah berkali-kali terlibat dalam
pembangunan, baik dalam project menengah ke bawah seperti perumahan susun atau
project kelas atas seperti apartemen. aku pikir pekerjaanku adalah pekerjaan
yang sangat mulia karena ikut mensukseskan pembangunan nasional,seperti yang
telah digagas oleh pemerintah. namun entah kenapa akhir-akhir ini aku gelisah,
terutama saat pengerjaan Rumah susun atau Rusun yang satu ini. Aku seperti merasakan
sebuah dilema yang cukup besar. Terutma semenjak aku tidak sengaja membaca
sebuah artikel di blog yang bercerita tentang penggusuran dan dampak yang
diakibatkanya. dari situlah aku mengetahui Nina, mahasiwi yang aktif dalam
pengawalan penggusuran itu bercerita panjang lebar dengan bahasa yang sederhana
tapi sangat mendalam. dari situ aku penasaran dengan sosok Nina. baru kemudian
melalui tulisan terbarunya aku tahu jika Nina terlibat juga dalam pengawalan
penggusuran di sebuah wilayah yang juga menjadi bagian dari projectku. Aku
bahkan sempat goyah dengan pekerjaanku ini. bahkan dalam sebuah rapat dikantor
aku sempat menanyakan keberlangsungan project Rusun ini. terutama mengkaji
ulang dari segi kelayakan dan sosial-kultural. namun ternyata aku sendirian
yang mempermasalahkan itu, semua yang rapat mayoritas menentangku. akhirnya aku
kalah, dan project Rusun tetap berjalan. bahkan pemerintah kota mengapresiasi
kinerja perusahaan kami.
Aku kemudian pergi ke
lapangan sendirian. merekam setiap detail peristiwa yang terjadi disana. bahkan
aku sempat merekam diam-diam prosesi rapat bersama pemerintah kota. aku tahu
jika proses penggusuran itu tidak sesuai prosedur. ada beberapa kecacatan
disana, dan ada oknum yang dengan sengaja 'menggorengnya'
dan mengambil keuntungan dari peristiwa ini. Semua peristiwa itu tidak
satupun aku lewatkan dan semuanya ada didalam rekaman handycam yang kuserahkan
kepada Nina, mahasiwi yang diam-diam aku menaruh hati kepadanya. aku sangat
salut dengan perjuangannya bersama rekan-rekan mahasiswa, namun dari kesemuanya,
ia adalah satu-satunya perempuan yang kulihat. ia cukup menggebu-nggebu
memperjuangkan nasib warga terdampak penggusuran. Sebuah perjuangan yang
seharusnya didukung oleh pemerintah kota. namun ternyata malah sebalinya.
Aku berharap rekaman
itu bisa menjadi sebuah alat bukti di pengadilan nanti, dan jika memang namaku harus
dicatut, aku siap untuk mengklarifikasinya. bahkan jika harus duduk di kursi
pesakitan pun aku siap. atau jika aku harus kehilangan pekerjaanku sekalipun.
aku telah memikirku itu dengan matang-matang. aku siap menerima resikonya. Aku
sudah lama kehilangan idelaismeku, semenjak aku menempati zona nyaman dalam
sebuah jabatan strategis ini. Kini, saat aku kembali menemukan idealismeku yang
hilang. aku siap berhadapan dengan resiko apapun. tiba-tiba aku ingat seseorang
pernah berkata jika idealisme adalah sebuah kemewahan terakhir yang dimiliki
oleh seorang manusia. aku tersenyum mengingat-ingat kalimat itu.
Baca juga: imagine dan perdebatan yang tak pernah usai
Baca juga: imagine dan perdebatan yang tak pernah usai
Iya sih, aku juga ngerasa gitu. Terkadang tempat nyaman untuk tinggal, malah digusur. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Tapi disaat kita merasa nyaman dalam suatu tempat, disitu kebahagian.
BalasHapusBtw, salam kenal ya..
Karena kenyamanan gak bisa dibeli.
BalasHapusok gan, salam kenal!