Resensi Buku: Entrok - Okky Mandasari
Gambar punggung seorang gadis yang tengah mengaitkan Entrok membuat saya jatuh
cinta pada pandangan pertama saat menemukannya diantara deretan buku yang
tersusun apik di sebuah rak toko buku.
Prolog di awal cerita “setelah kematian” merupakan
kode dari penulis agar para pembaca tidak mengharapkan ending cerita yang
bahagia. Seperti buku karya Okky Mandasari yang lain, selalu banyak pesan-pesan
yang tersurat dalam tiap kalimat. Maka
jangan heran jika akan sering tersenyum simpul, meringis miris, atau bahkan menangis tersedu-sedu
ketika membaca novel ini. Isu-isu menarik tentang politik, pluralisme serta
hubungan sosial juga diramu dengan kalimat-kalimat yang halus namun cukup menohok. Pemilihan
diksi dan kalimat dalam novel ini pun cukup fulgar namun tidak terkesan erotis bahkan
barangkali
menjadi salah satu poin plus.
Buku ini bercerita tentang Marni, seorang gadis yang
bermimpi mempunyai entrok untuk mengikat dadanya yang mulai mringkili. Simboknya yang seorang buruh pasar hanya
mendapatkan imbalan singkong, ketan, dan sesekali pakaian. Tidak ada yang
memberi upah sebuah entrok, karena pada masa itu entrok merupakan barang mewah,
tidak semua orang sanggup untuk membelinya. Perempuan-perempuan tua
bertelanjang dada di dalam rumah dan gadis-gadis hanya melilitkan kain untuk menutupi dadanya.
Kisah Marni dan Rahayu diceritakan dengan begitu apik.
Dua tokoh utama dalam buku ini mempunyai pandangan berbeda tentang kepercayaan
mereka terhadap Tuhan. Marni yang hanya mengenal Arwah leluhur hingga akhir
hidupnya sangat berbanding terbalik dengan Rahayu yang sedari kecil belajar
agama lewat guru ngajinya, sehingga kerap memicu perdebetan bahkan perseteruan
sengit antara keduanya.
Dua perempuan yang menjadi tokoh utama menjadikan
novel ini menjadi sangat sarat akan isu feminisme.
“Memang benar,
di pasar ini tidak ada perempuan yang nguli, pekerjaan berat yang menggunakan
tenaga besar. Di pasar ini, buruh perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus
dan enteng, seperti mengupas singkong, menumbuk padi, atau menumbuk kopi.
Tapi coba lihat, begitu buruh-buruh perempuan itu sampai di rumah. Mereka harus
mengerjakan semua pekerjaan yang ada, mengambil air dari sumber dengan perjalanan
naik turun. Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja satu goni berisi
singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan.
Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara
mengambil air tidak pernah mendapat apa-apa.” (hal.37)
Batin Marni protes tentang Mbah Noto yang terus menerus
mengingatkan masalah Ilok dan ra ilok tentang tugas perempuan, tidak ada
perempuan menjadi kuli, perempuan itu kerjanya di dapur, rumah dan kasur.
Memang di era tersebut buruh perempuan seolah tidak ada harganya dibanding
dengan buruh laki-laki. Bahkan sampai hari ini saya kira permasalahan ini masih
kerap terjadi.
Setting novel ini diambil di tahun 1950 hingga awal
tahun 1999an,
sehingga pembaca seolah berjalan-jalan menelusuri sejarah kelam Indonesia yang masih
sensitif untuk dibicarakan. Seperti isu tentang PKI, ketika Rahayu yang tidak lagi bisa bekerja
dan menikah karena mendapatkan cap PKI. sesaat setelah
terlibat dalam pendampingan 65 warga timur Merapi yang mempertahankan tanah
warisan leluhur yang telah menghidupi mereka puluhan tahun dari generasi ke
generasi. Ada juga kisah
tentang penangkapan masyarakat yang memberontak pada pemerintah, dan tak pernah
kembali. Juga tentang kekejaman dan
kesewenang-wenangan tentara yang seenaknya menggunakan kekuasaan dan seragamnya
untuk menindas yang lemah. Hal ini digambarkan pada kisah marni yang
terpaksa menyerahkan sebagian hasil keringatnya pada tentara yang tiap seminggu
sekali mendatangi rumahnya dengan alasan keamanan. Juga masih banyak kisah
lainnya yang tidak bisa saya ceritakan disini.
Bahkan saya sebagai pembaca hampir tidak bernafas
setiap membalik lembaran isi buku. Menerka-nerka apa yang akan terjadi pada
tukang becak yang kentut di depan tentara, mengutuk guru ngaji Rahayu yang
setengah-setengah menjelaskan agama, juga menangis dan meratapi gadis kecil
yang dicabuli keluarganya sendiri.
Novel dengan ending yang cukup dramatis ini tidak
membuat saya sebagai pembaca kecewa. Justru ending yang dramatis ini menjadi
sebuah catatan bahwa sebuah keinginan dan harapan harus tetap diperjuangkan
sampai akhir dengan sebaik mungkin. Karena meski tidak berakhir seperti yang
diharapkan, namun pasti ada kebaikan-kebaikan kecil dari sebuah perjuangan
tersebut.
Entrok
Okky Mandasari
Cetakan keempat, Agustus 2017
ISBN:978-979-22-5589-8
0 komentar: