Bumi Manusia Dan Pembaca Yang Snobisme, Sudahkah Adil Sejak Dalam Pikiran?



Akting Iqbaal dalam film Dilan memang parah, dalam penilaian amatir saya sebagai bukan penikmat film romance young adult, saya gagal baper sebagaimana saya baper pada Nicholas Saputra dalam AADC, dialog-dialog Iqbaal cenderung datar dan tidak menyentuh sisi kemanusian saya pada bagian manapun. Entah karena terlalu lama sendiri sehingga hati saya sudah karatan atau bagaimana. Saya yang berharap punya pacar Dilan yang muda, beda dan berbahaya seperti di novel, begitu menonton film kok ya jadi enek sendiri kalo ketemu modelan-modelan Dilan-Iqbal yang super duper jayus tersebut. Yah... Meskipun tetap saja, harus diakui saya tidak bisa menolak ketampanan khas adik-adik generasi akhir Millenial yang dimiliki Iqbaal. Intinya, saya mau bilang akting Iqbaal dalam film sebelumnya itu ga bagus, tapi dia ganteng.


Ketika Hanung menunjuk Iqbaal sebagai Minke, tokoh utama dalam novel legendaris "Bumi Manusia" orang-orang yang membaca buku sastra marah. Iqbaal dianggap tidak akan bisa memerankan tokoh Minke, pribumi yang kebarat-baratan itu. Reza Rahardian atau Herjunot Ali dianggap lebih pantas menjadi Minke.

Sodara-sodaraku yang dirahmati Allah, tidak ada yang perlu dibela dari akting Iqbaal, tapi tetap saja keberatan sosok Minke dalam Bumi Manusia diperankan oleh Iqbaal adalah bentuk snobisme (sok-sok an yang berlebihan) pembaca buku, keangkuhan intelektual tiada tara, sikap sombong penggemar karya sastra. Sikap paling merasa kalau kamu adalah yang paling pintar karena membaca buku-buku jadoel sastra kanon dan yang lainnya hanyalah penggemar film yang produk kapitalis kesukaan banyak orang (pop culture) yang budaya rendahan dan bukan hasil dari budaya kelas tinggi. Dan semuanya sekali lagi tidak ada hubungannya dengan kualitas akting Iqbaal. Hanya murni kecemasan-kecemasanmu hai manusia tinggi hati.

Saya tidak ingin membela Iqbaal atau siapapun. Meskipun sejak punya akun instagram, saya ini masuk dalam seribu followers pertamanya Iqbaal. Film Hanung ataupun karya Pram patut dinilai dengan sepantas-pantasnya. Tidak ada yang perlu dinilai secara berlebihan. Benar memang sebagai sebuah dokumen sosial atau alternatif sejarah, Tetralogi Pulau Buru memang penting. Namun dalam hal narasi atau perkara-perkara dasar, percayalah saudara-saudaraku yang berbahagia, Pram tidak seluar biasa itu. Saya ambil salah satu contoh,

"Kami berdua dilahirkan di tahun yang sama: 1880. Hanya satu yang berbentuk batang, tiga lainnya bulat-bulat seperti kelereng salah cetak."

Kalimat tersebut dinarasikan oleh Minke, pemuda 18 tahun yang pintar dan mengenyam pendidikan inlander. Helaw, sesalah-salah cetaknya gundu apakah bisa mengukuhkannya jadi angka 8. Yaelah kelereng salah cetak palingan gompel doang. Meskipun sederhana, ini dapat menjadi bukti bahwa Pram masih memiliki sandungan dalam hal-hal yang sangat dasar. Apakah pemilihan simile yang tidak nyambung tidak boleh dilakukan oleh penulis? Ya boleh saja. Sekarepnya wongnya. Namun biasanya digunakan untuk menunjukkan efek-efek tertentu. Humor, misalnya. Tapi ya ga kelereng salah cetak juga keleus.

Apakah saya tidak suka Tetralogi Pulau Buru? Ya ga juga. Dalam Bumi Manusia misalnya, ada beberapa bagian yang beneran nampol dihati. Ada bagian ketika Minke yang anak bupati kembali ke rumahnya, meski memiliki pendidikan lebih tinggi dari bapaknya, dia masih harus berjalan merangkak dihadapan bapaknya karena adat.

“..Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf, God, god!...
...Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam?....dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang antusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi umat manusia… Uh, anak cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.”

Entah bagaimana, saya suka sekali bagian ini. Mungkin karena mengingatkan saya pada surat-surat Kartini, atau lekat dengan kehidupan kita-kita sebagai anak. Setinggi apa pun pendidikan yang diperoleh,  di rumah kita adalah anak-anak mama yang bingung menentukan kebahagiaan sendiri.

Berbicara tentang Tetralogi Pulau Buru, barangkali di antara saudara-saudara terdapat segelintir orang yang tidak membacanya, mungkin informasi ini berguna; Di antara keempat novel yang paling mudah dibaca adalah Bumi Manusia, yang paling hancur adalah Jejak Langkah, dan yang terbaik adalah Rumah Kaca. Tidak membaca juga tidak apa-apa dan tidak akan mengurangi standar pemahamanmu soal buku sastra bagus. Saya lebih merekomendasikan “Raden Mandasia”nya paman Yusi Avianto sebagai buku fiksi bagus Indonesia.

Kembali lagi pada dek Iqbaal, film belum dikeluarkan, dari mana anda tahu kalau si fulan itu lebih baik daripada si fulan ini. Kamu boleh cemas, sebab Hanung pernah bikin film sampah seperti Ayat-ayat Cinta. Namun sekali lagi, tunggu filmnya, tonton kalo kamu punya waktu dan duit lebih untuk dihambur-hamburkan. Setelah itu, hina sepuasmu kalo memang buruk. Tidak bisakah kita bersikap adil sejak dalam pikiran sebagaimana Pram, jika kamu benar-benar menyukai Pram?


Oleh; Angger Pratita

0 komentar: