Senja dan daun-daun waru yang tak pernah habis
Setiap hari sepulang
sekolah aku dan anak-anak sebaya lainnya selalu menghabiskan siang hingga sore
di pelabuhan. ketika kapal bersandar, kami selalu menyerbu para penumpang yang
baru turun. Berharap diantara mereka ada yang mau dibawakan barang-barangnya. Dari
situ biasanya mereka yang barangnya bersedia dibawakan akan memberi kami
imbalan. Lumayan buat tambahan uang jajan. pelabuhan sangat ramai dan selalu
saja ada orang yg bersedia dibawakan barangnya.
Sepulang dari
pelabuhan, dari hasil upah membawakan barang biasanya aku selalu menyempatkan membeli
gulali dua tusuk di warung dekat pelabuhan. Satu untukku dan satu lagi untuk
gendhis, gadis kecil yg selalu kutemui duduk di tepi sungai pinggir jalan. pandangannya
selalu tertuju ke arah pohon waru yg tidak jauh dari sungai.
Gendhis, gadis kuning
langsat bermata bulat dengan rambut dibuat kelabang itu tumbuh normal seperti
anak seusianya. Namun semenjak kedua orangtuanya diculik dan tidak pernah
kembali lagi, ia berubah menjadi gadis yg pendiam. Konon dari cerita yg beredar
kedua orangtuanya terlibat gerakan partai komunis yg terlarang. Semua orang
satu desa tahu itu, termasuk anak-anak seusiaku. Kedua orangtuanya diculik
tengah malam oleh segerombolan orang tak dikenal. Tidak hanya orangtua gendhis,
banyak dari mereka yg dicurigai terlibat partai komunis atau PKI akan langsung
diciduk tengah malam dan esoknya tidak pernah kembali. Tidak heran jika banyak
janda-janda dikampung kami dan anak-anak yg bernasib malang seperti gendhis.
Gendhis yg saat itu berumur 7 tahun melihat sendiri
peristiwa itu. Ia terbangun saat ibunya menjerit digelandang orang-orang
bertubuh besar dengan wajah tertutup. Sejak kejadian itu gendhis selalu
menangis ketika terbangun tengah malam. Gendhis yg kini tinggal bersama
pamannya itu tidak lagi pernah berbaur dengan anak seusianya. Ia tidak memiliki
teman dan lebih memilih menyendiri setiap sore menghabiskan senja sembari duduk
memandangi pohon waru di tepi sungai. setiap kali daun yg berbentuk hati itu
jatuh, gendhis selalu memungutnya untuk kemudian dikubur didekat pohon waru itu.
Aku selalu menyaksikannya karena kebetulan jalannya satu arah dari pelabuhan menuju
rumah.
Suatu kali, aku memberanikan
diri untuk menyapa dan duduk didekatnya. Tanpa sepatah kata ia hanya
memandangku dengan tatapan tajam seolah sedang tidak ingin diganggu. Aku tidak
surut, ku tawari permen gulali yang sengaja ku beli untuknya.
“aku Sujo. Aku ingin
berteman denganmu. ini permen gulali untukmu, ambilah!” kataku
“jangan berteman
denganku! Aku anak PKI!” jawabnya ketus
semua orang saat itu tahu
PKI atau Partai Komunis adalah terlarang dan orang-orang yg ketahuan terlibat
PKI akan diringkus. bahkan kami yg anak-anak ikut mendapatkan cerita sebelum
tidur dari orangtuanya masing-masing tentang kekejaman orang-orang yg terlibat
PKI dan akhirnya berujung pada pelarangan untuk berteman dengan anak-anak yg
orangtuanya terlibat PKI.
“aku juga anak PKI.
Ambil ini dan ayo berteman” tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja dari
mulutku. Kalimat yg bisa berakibat fatal jika ada orang yg mendengar lalu
melaporkannya kepada orang lain. Nyawa kedua orangtuaku yang jelas-jelas bukan
PKI bisa terancam.
“ambil saja! Ini manis
kok!” kataku sekali lagi sambil memandangi kiri kanan barangkali ada orang yg
mendengarnya.
Wajahnya sedikit
menaruh curiga. Namun kemudian tanpa sepatah kata diambilnya permen gulali dari
tanganku. Sampai permen habis kita hanya duduk tanpa sepatah kata pun yang
keluar dari mulut masing-masing. Setelah peristiwa itu, sehabis dari pelabuhan aku
selalu menyempatkan untuk menemuainya dan membawakan gulali untuknya. Kita selalu
menghabiskan senja bersama. Ia mulai berani berbicara meski hanya beberapa
kalimat yg keluar dari mulutnya. Namun yg pasti dari situ aku tahu namanya. Kami
lebih sering diam menghabiskan senja. ia tidak begitu banyak bicara. Sesekali
jika ada daun waru yg jatuh, ia selalu bergegas memungutnya untuk kemudian
dikubur didekatnya. Pernah suatu kali aku
bertanya perihal itu. Perihal kenapa ia selalu mengubur daun waru yang gugur
berjatuhan dari pohonnya. namun gadis itu hanya diam sambil menatapku tajam. dari
sorot matanya seolah ada rahasia besar yg sedang ia sembunyikan. Setelah itu
aku tidak berani bertanya lagi.
Waktu berjalan. Kami tumbuh
dewasa. Disaat teman sebaya lain banyak yang memilih merantau ke luar pulau,
entah untuk pergi ke perguruan tinggi atau bekerja, aku lebih memilih menetap
di pulau ini. sampai kemudian aku mendapat sebuah tawaran untuk menjaga loket
karcis pelabuhan. Namun aktivitask sama sekali tidak pernah berubah. Setiap
sore sepulang menjaga loket plebuhan, aku selalui menemani gendhis yg sedang
duduk ditepi sungai menghabiskan senja sendirian sembari mengubur daun-daun
waru yg gugur.
Gendhis masih seperti
yg dulu. Tidak ada yg berubah. Kalau pun ada adalah wajahnya yang terlihat semakin
ayu dan lebih dewasa. Selain itu tidak ada. Ia masih tetap gendhis yg
pendian,yang selalu mau tidak pernah mengatakan alasannya duduk berlama-lama
ditepi sungai hingga senja menjadi gulita dan mengubur daun-daun waru.
Suatu sore menjelang
senja, hujan turun deras sekali. aku membawa dua payung dan ingin menemui
gendhis di tempat biasa ia menghabiskan senjanya. Barangkali ia kehujanan dan
tidak sempat membawa payung. Sambil menenteng payung, aku bergegas menuju
sungai itu. Namun sesampainya disana, gendhis rupanya tidak ada di tempatnya.
Ini pertama kalinya sejak aku mengenalnya, ia tidak berada disana. Kuperhatikan banyak
daun-daun waru yang berguguran. Aku memungut beberapa lalu menguburnya. Persis
seperti yang biasa gendhis lakukan. Namun semakin banyak daun yang berguguran
dihempas angin yang kencang. Beberapa bahkan ikut hanyut ke sungai lalu hilang
diseret alirannya yg deras. Sambil memandangi aliran sungai yg membawa
daun-daun waru, aku memikirkan keberadaan gendhis. 'apakah ia lupa tidak datang
hari ini. atau tertidur pulas dirumah pamannya?' Gendhis tidak mungkin takut
hujan. Aku menerka-nerka sembari kupandangi arus sungai. Sungai yg menyimpan
banyak misteri. Semakin lama arus sungai itu semakin deras. tiba-tiba pikiran
aneh muncul dikepalaku. ‘apakah gendhis hanyut terbawa aliran sungai itu ketika
ingin mengambil daun waru yang jatuh?’ perasaanku semakin tidak karuan. Aku segera mengusir
pikiran aneh itu, kemudian bergegas menuju rumah paman gendhis. Tempat gendhis tinggal setelah menjadi sebatangkara.
Hujan semakin deras,
bahkan disertai kilatan petir yang sesekali menggelegar. Angin yang bertiup
kencang menambah banyak daun-daun waru yg berguguran. Kupandangi sekali lagi daun-daun
berserakan itu sebelum bergegas menuju kediaman gendhis. tiba-tiba angin
bertiup semakin kencang hingga pegangan payung yang menutupi tubuhku lepas.
Payungitu terbang sesaat kemudian jatuh
ke sungai. Tidak butuh waktu lama aliran sungai menghanyutkan payung malang
itu. Untung aku masih membawa satu payung lagi. Aku langsung bergegas
meninggalkan tempat itu. Sesampainya dirumah gendhis, pamannya yg sudah tua
menyambutku dengan hangat. Namun rupanya gendhis tidak ada dirumah. ‘lalu
dimana dia?’ batinku. Pamanya mengatakan jika gendhis belum kembali sejak
kemarin sore. ‘bukankah kemarin sore ia masih bersamaku? menghabiskan senja
bersama’ aku bergegas pulang dengan kekecewaan.
Hari berganti, waktu
berlalu. Sejak saat itu gendhis tak pernah pulang kerumah. Ia juga tidak pernah
muncul dipinggir sungai, tempat biasa ia habiskan untuk memungut daun-daun waru
sembari menghabiskan senja. Daun-daun waru semakin banyak yang menua lalu jatuh
berguguran. Tidak ada yg memungutnya untuk kemudian dikubur. Senja pun seolah
kehilangan pesona semenjak ditinggal pemujanya yang entah pergi kemana.
Tahun berganti. Jaman
berubah. Banyak anak-anak kecil yg kemarin baru lahir kini sudah tumbuh dewasa.
Sementara mereka yang dewasa akhirnya menua juga. Tidak kecuali aku. Rasanya
baru kemarin sore kuhabiskan waktu di pelabuhan, lalu membeli dua tusuk gulali
sebelum pulang. menikmatinya bersama gadis berambut kelabang sembari
menghabiskan senja yang malu-malu, memandangi aliran sungai yang jernih, dan
memungut daun-daun waru yang berguguran. Tidak terasa sudah 40 tahun lebih
berlalu. Sekarang aku sudah kepala 6 dan hampir selalu lupa dimana aku menaruh
tusuk gigiku. namun aku masih ingat jelas segala cerita tentang senja dan gadis
itu. Tentang menghabiskan senja dan mengubur daun-daun waru.
Masih tergambar jelas
terakhir kali kita bertemu sebelum ia menghilang dan tak pernah kembali lagi. Saat
au gendhis akhirnya bercerita tentang luka lama yang mengubah jalan hidupnya.
Tentang gerombolan orang-orang tak dikenal yg membawa pergi kedua orangtuanya.
Merampasnya dari pelukan. Sementara ia hanya bisa menangis memandangi kepergian
orang-orang yg dicintainya itu sepanjang malam. Danpaginya, ia mendengar ada
orang yang melihat gerombolan tak kenal membawa karung berisi manusia-manusia
malang yang dituduh terlibat PKI dibuang setelah disiksa ke sungai dimana
tertanam pohon waru didekatnya. Persis tempat dimana gadis itu menghabiskan
senja dan mengubur daun-daun waru yang jatuh berguguran. daun-daun yang mewakili
segala duka. Aku jatuh cinta dengan caranya merayakan segala yang ada dengan yg
tak ada. andai saja aku tahu itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, aku tak
akan meninggalkannya sendirian. Aku ingin menemaninya hingga petang berubah
fajar. Dan kini, dimanapun gadis itu pergi, semoga ia selalu pergi bersama
daun-daun waru dan sisa senja yg tidak sempat ia habiskan.
Bikin baper nih
BalasHapus