Topeng dan panggung sandiwara

Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
 
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

Sepenggal lirik dari tembang lawas berjudul “panggung sandiwara” yang dipopulerkan oleh God Bless tersebut tampaknya bercerita tentang perilaku manusia di dunia yang tidak ubahnya seperti pertunjukan drama. Setiap manusia memiliki satu peran yang harus dimainkan dengan dunia yang diibaratkan sebagai panggung sandiwara dari naskah semesta.


Sejalan dengan Ahmad Albar dkk, Erving Goffman juga mendapati dunia ini penuh dengan sandiwara yang disuguhkan oleh manusia, yang olehnya dikenal sebagai istilah Dramaturgi. Didasari oleh teori peran, yang juga tidak lepas dari pengaruh konsep ‘the self’ dari George Herbert Mead yg menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antar manusia), terbentuklah teori Dramaturgi. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Bagian depan mencakup tentang; setting, penampilan (personal front), dan ekspresive. Sedangkan bagian belakangnya disebut ‘the self’ yg mencakup seputar kegiatan yang tersembunyi yang berguna untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan yang ada pada bagian depan (front).

Setiap manusia (atau semuanya) kebanyakan pernah bermain Dramaturgi, meski dengan kadar yang berbeda-beda. karena pada dasarnya setiap dari kita tentu memiliki rahasia yang terkadang tidak perlu (atau tidak pantas) untuk diungkapkan atau diekspresikan kepada orang lain. Karenanya kadang kita memerlukan “topeng” untuk menutupi dari ekspresi yang sebenarnya. dan mengkonotasikan “manusia bertopeng” sebagai pribadi yang buruk sepertinya tidak sepenuhnya benar. Meski juga tidak bisa dijadikan sebuah pembenaran yg baik. Kita harus memahami motif seseorang kenapa dirinya menggunakan “topeng” tersebut dalam keadaan yang demikian. Dan jika akhirnya kita sampai pada kesepakatan untuk menanggalkan “topeng” masing-masing atas dasar keburukan maupun kejahatan atau apapun itu, maka kita juga harus siap dengan konsekuensi bahwa kita hanya akan mengatakan atau mengekspresikan sesuai dengan apa yang kita pikirkan atau apa yang kita rasakan. Jika hal demikian direalisasikan, barangkali dunia atau bumi tempat kita berpijak sekarang sudah tidak akan berjalan seperti yang sekarang atau sebelum-sebelumnya telah kita rasakan. Barangkali juga kita akan terpental jauh menuju ke dunia kebijaksanaan. Dunia tanpa topeng dan panggung sandiwara didalamnya.
 
ilustrasi by: pixabay



Baca juga: Mengenal Hoax

0 komentar: